1. Lagu dan Nyanyian Dibolehkan Dalam Tingkat Yang Wajar
Kita tahu bahwa memang para ulama tidak sepakat atas kebolehan lagu
dan nyanyian. Ada sebagian ulama yang cukup ketat dalam masalah lagu dan
nyanyian ini hingga mereka cenderung mengharamkannya kecuali dengan
syarat-syarat yang ketat. Namun ada juga kalangan ulama yang
membolehkannya dengan argumen masing-masing.
Namun lepas dari perbedaan visi dan
pandangan mereka dalam masalah lagu dan nyanyian, pastilah mereka
sepakat bahwa seorang muslim tidak layak untuk lebih banyak menghabiskan
waktu dan perhatiannya kepada masalah lagu dan nyanyian saja. Sehingga
hidupnya lebih didominasi dengan lagu dan nyanyian saja ketimbang
ayat-ayat Al-Quran Al-Karim dan sunnah nabawiyah. Bahkan ulama yang
paling moderat dalam masalah lagu dan alat musik sekalipun tidak akan
mendukung kalau lagu dan nyanyian lebih dominan dari Al-Quran Al-Karim
dalam hidup seorang muslim. Sehingga bila mendengar lagu dan nyanyian
dilakukan dalam kesempatan tertentu saja, masih dibenarkan, namun jangan
sampai setiap pagi, siang, sore atau malam hari, telinga dijejali terus
menerus dengan lagu dan nyanyian. Karena ketika ada riwayat yang
menyebutkan bahwa Rasulullah SAW mendengarkan nyanyian atau lagu,
pastilah ada momentum yang tepat untuk mendengarkannya. Kita tidak
pernah mendengar ada hadits yang menyebutkan bahwa kerjanya Rasulullah
SAW sehari-hari adalah menyetel nasyid islami. Bahkan beliau tidak
pernah meminta para shahabat untuk membentuk group nasyid. Sehingga
kalaulah nasyid itu dibolehkan, tapi bukan sebuah anjuran apalagi sebuah
ibadah sunnah yang dihidup-hidupkan.
Kalau kita dekatkan lagi, jangan sampai kaset koleksi nasyid yang
dimiliki seorang aktifis dakwah melebihi koleksi kaset bacaan Al-Quran
Al-Karim, hadis nabawi atau pelajaran tentang Islam atau kaset yang
lebih bermanfaat lainnya. Mendengarkan bacaan Al-Quran Al-Karim jelas
nilai pahalanya. Mendengarkan hadits-hadits Rasulullah SAW jelas nilai
manfaatnya dan mendengarkan kajian tenang keislaman jelas menambahkan
ilmu kita. Tapi memperbanyak mendengar nasyid ???… kita tidak
mendapatkan satu pun anjuran dari agama ini yang memerintahkannya. Jadi
mendengar nasyid dengan porsi tertentu hukumnya boleh, tapi tidak dengan
keganderungan yang over.
2. Jangan Sampai Kebablasan
Kami ingin menjawab masalah keresahan Anda tersebut dengan perasaan
yang kurang lebih sama. Yaitu kami pun merasakan adanya kekhawatiran
atas kebablasannya dunia nasyid ini menjadi sesuatu yang kurang selaras
dengan syariat Islam. Dan kekhawatiran itu –percayalah- bukan hanya
dirasakan oleh Anda seorang, tapi banyak juga orang yang sudah
merasakannya. Dan salah satunya adalah kami. Jadi kita berada pada
perasaan yang sama.
Secara sekilas bila kita melakukan kilas balik nasyid, awalnya nasyid
merupakan bagian utuh dari aktifitas dakwah yang saat itu masih sangat
kental dengan tema-tema aqidah dan syariah serta shahwah islamiyah.
Bahkan bahasanya pun masih menggunakan bahasa arab yang sedikit banyak
memberi semangat untuk mempelajarinya. Disamping memang ada unsur seni
sastranya yang kuat, karena umumnya nasyid berbahasa arab itu berangkat
dari bait-bait syi`ir yang sedemikian indah dan sangat kental nuansa
jihadnya. Dan satu lagi yang paling penting, yaitu sama sekali tidak
menggunakan alat musik, justru `arudh senandung itulah yang menjadi
musik alami.
Hanya saja, saat itu orang yang kenal nasyid itu sangat terbatas,
yaitu para aktifis dakwah yang jumlahnya pun masih bisa dihitung dengan
jari. Sebagian besar orang masih perlu mengerutkan dahinya sepuluh
lipatan bila mendengar nasyid. “Ini lagu India, ya ?“, begitu biasanya
mereka berkomentar sambil terheran-heran. Sehingga ketimbang menjadi
alternatif hiburan yang Islami, nasyid lebih identik dengan barang aneh
produk timur tengah.
Lalu sedikit demi sedikit nasyid mulai ngepop, bahkan bahasanya pun
sudah menggunakan bahasa Indonesia. Lalu satu dua group nasyid
bermunculan, sebagian malah telah melakukan rekaman. Dan musik pun mulai
digunakan, walaupun awalnya masih menggunakan mulut, namun akhirnya
duff digunakan, lantaran ada dalil yang menyebutkan kebolehan duff
tersebut. Lama-lama, alat musik lainnya ikut nongol dalam satu dua
tembang nasyid. Irama dan gaya pembawaannya pun ikut-ikutan ngepop
mengikuti selera pasar. Bahkan tema syairnya pun menyentuh wilayah yang
lebih melebar lagi. Dan persis yang Anda katakan, hampir tidak ada
bedanya dengan lagu-lagu pop.
Namun seiring dengan pergeseran gaya nasyid itu, penggemarnya pun
mulai bergeser dan melebar. Dahulu kalangan yang dahinya berkerut
sepuluh lipatan itu mulai mengendorkan otot-otot dahinya itu dan
telinganya mulai terbiasa dengan nasyid. Bahkan nasyid pun masuk TV dan
muncul videoklipnya. Bahkan para artis penyanyi pun tidak malu
bernasyid.Bahkan konser nasyid pun semakin marak dimana-mana.
Bahkan sebagian dari penggemar musik yang sudah ada sebelumnya mulai
mengenal dan menggemari nasyid. Bisa dikatakan nasyid sudah sejajar
dengan jenis musik lainnya. Dan bila dibandingkan dengan lainnya itu,
biar bagaimana pun nasyid tetap masih lebih kental dengan nuansa
Islaminya. Paling tidak, seorang tidak akan bergoyang pinggul
menari-nari ketika membawakan nasyid dan pendengarnya pun akan berubah
menyesuaikan diri dengan nasyid yang sedang ditampilkan.
Nah, tinggal kita akan melihatnya dari arah mana ?
Kalau dilihat dari proses lahirnya nasyid di masa awalnya, jelas
nasyid di masa ini mengalami kemunduran nilai-nilai Islam, karena
terlalu banyak ‘kompromi’ dengan selera pasar. Tapi tidak ada salahnya
kalau kita melihat dari sudut yang lain, yaitu dari sisi dunia musik pop
yang selama ini gersang dan jauh dari nilai-nilai Islam, ternyata kini
sebagian mulai beralih kepada sesuatu yang sedikit lebih baik. Minimal
dari sisi syair dan cara pembawaannya yang tetap kental nuansa Islamnya.
Dan biar bagaimana pun ini adalah sebuah proses yang lumayan baik meski
belum ideal.
Namun lepas dari kontroversi itu, tetap saja perlu kita memberikan
peringatan dan nasehat kepada teman-teman yang lagi asyik bernasyid
untuk jangan lupa dengan koridor dan batas syar`i. Agar mereka tidak
lengah dan larut dengan suasana dan ephoria belaka, namun perlu juga
menjaga ashalah atau keaslian syariah Islamiyah.
Tentu cara yang kita gunakan perlu dipilih yang simpatik, mudah,
tidak membuat tersinggung dan yang penting pesan bisa tersampaikan
dengan benar. Agar ketika kita memancing bisa mendapat ikannya tanpa
membuat airnya menjadi keruh. Karena sayang sekali kalau semangat yang
kita punya ini tidak diimbangi dengan kemampuan pendekatan yang baik,
bisa jadi airnya jadi keruh dan ikannya malah tidak dapat. Tentu kita
juga yang merugi.
3. Kajian Syariah
Kami menganggap bahwa para group nasyid dan kelompok penggemarnya
perlu juga melakukan kajian bersama atas perkembangan nasyid dari waktu
ke waktu serta untuk mendapatkan masukan terutama dari kalangan ahli
syariah, agar mereka tetap masih berada dalam koridor syariah dan tetap
memiliki nilai tersendiri yang membedakan mereka dengan arus musik pop
dan dunia hura-hura.
Batasan dan identitas serta ketentuan-ketentuan tentang sebuah
nasyid, baik tentang group, pentas, rekaman, royalti, syair, thema,
penggunaan alat musik dan lainnya perlu mendapat kajian serius dari sisi
syariah.
Misalnya untuk menjawab pertanyaan sederhana : Apakah penghasilan
dari seorang penyanyi itu termasuk harta halal? Apa batasannya menjadi
halal atau tidak halal? Kalau halal, adakah zakat yang harus dikeluarkan
? Dan sebagainya.
Wallahu A`lam Bish-shawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar